Menimbang Keadilan bagi Guru di Era Viral: Refleksi dari Kasus Kendari
Oleh: Endang Daruqutni, M.Pd.
Kepala SMP Negeri 1 Gunungsari
Kasus viral di Kendari mengenai seorang guru yang divonis lima tahun penjara karena memegang jidat siswanya telah menimbulkan reaksi luas di masyarakat. Menariknya, dominasi suara publik justru menunjukkan simpati yang kuat kepada sang guru. Banyak yang menilai bahwa tindakan tersebut tidak dapat langsung dikategorikan sebagai kekerasan berat, apalagi hingga mengantarkan seorang pendidik pada proses hukum yang begitu berat. Fenomena ini menunjukkan bahwa masyarakat pada dasarnya masih memercayai integritas guru, sekaligus menginginkan perlindungan yang lebih proporsional bagi profesi mulia ini.
Sebagai kepala sekolah, saya memahami betul dinamika lapangan yang dihadapi pendidik. Mengelola kelas dengan karakter siswa yang beragam bukanlah tugas ringan. Ada saat-saat di mana guru harus mengambil respons spontan untuk menegur, mengontrol situasi, atau mengembalikan fokus pembelajaran. Tidak ada guru yang datang ke sekolah dengan niat menyakiti anak—sebaliknya, semua tindakan lahir dari kepentingan pendidikan. Karena itu, ketika sebuah gestur kecil berujung pada tuntutan hukum, wajar apabila banyak guru merasa cemas dan tidak lagi merasa aman dalam menjalankan tugasnya.
Dalam konteks ini, penting bagi kita untuk menempatkan peristiwa tersebut secara lebih objektif. Penegakan perlindungan anak memang sangat penting, namun penerapannya harus disertai dengan pemahaman konteks, proporsionalitas, dan keseimbangan. Guru tidak boleh disamakan dengan pelaku kekerasan, terlebih jika tindakan yang dilakukan bukan dalam rangka menyakiti melainkan memberi teguran spontan. Ketika publik melihat bahwa hukuman yang dijatuhkan terlalu ekstrem dibandingkan dengan tindakan yang terjadi, kepekaan terhadap keadilan pun muncul, dan dukungan untuk guru mengalir deras.
Saya menyambut positif suara publik yang berusaha menegakkan keadilan bagi pendidik. Namun demikian, dukungan ini harus dibarengi kebijakan yang lebih sistematis. Guru membutuhkan perlindungan hukum yang jelas, pedoman etika yang tidak multitafsir, serta mekanisme penyelesaian masalah yang mengedepankan dialog terlebih dahulu sebelum masuk jalur hukum. Pendidikan adalah ruang tumbuh, bukan ruang menghukum.
Dari sisi sekolah, peristiwa ini menjadi momentum memperkuat pembinaan internal. Guru perlu didampingi untuk memahami batasan interaksi fisik meski dalam konteks menegur. Sekaligus, mereka harus merasa terlindungi sehingga tetap percaya diri menjalankan peran profesionalnya. Pendidikan tidak mungkin berjalan efektif jika guru bekerja di bawah ketakutan.
Akhirnya, peristiwa ini seharusnya tidak memecah kita, tetapi menyatukan kesadaran bahwa guru juga manusia—pengemban amanah, bukan objek kriminalisasi. Dukungan publik yang menguat adalah sinyal bahwa masyarakat masih memercayai guru dan menuntut adanya keadilan yang lebih berimbang. Kita semua berharap bahwa kasus ini menjadi pembelajaran sekaligus mendorong lahirnya kebijakan yang melindungi peserta didik tanpa mengorbankan martabat pendidik.
Ketika guru dihargai dan diperlindungi secara layak, maka pendidikan akan kembali menjadi ruang aman bagi semua—baik bagi murid yang belajar maupun guru yang mengabdi.
